Dokter sekaligus relawan Covid 19, dr Tirta Mandira Hudhi memberikan komentarnya terkait kerumunan massa kaitannya dengan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Muhammad Rizieq Shihab atau Habib Rizieq. Hal itu diungkapkannya dalam tayangan YouTube Official iNews , Minggu (15/11/2020). Dalam kesempatan itu, dr Tirta menilai pemerintah tidak adil dalam menegakkan aturan protokol kesehatan di tengah pandemi Covid 19.
Seperti yang diketahui, sepulangnya Habib Rizieq ke Indonesia, kumpulan massa tak terbendung lagi. Mulai dari penyambutan di bandara hingga acara acara yang diikuti oleh Habib Rizieq. Termasuk yang terbaru adalah menggelar acara pernikahan sang anak, Syarifah Najwa Shihab.
Dirinya menyayangkan sikap dari pemerintah, khususnya Pemprov DKI Jakarta selaku pemegang kekuasaan daerah yang terkesan seperti membiarkan. Padahal di satu sisi DKI Jakarta sendiri sampai saat ini masih menerapkan PSBB Transisi. "Saya butuh keadilan saja sebagai relawan, kalau memang PSBB Transisi ada Pergubnya kalau melanggar ya disanksi," ujar dr Tirta.
Dr Tirta lantas membandingkan sikap pemerintah dengan kerumunan massa dalam demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Selain itu Pemprov DKI juga bisa tegas kepada kafe kafe yang melanggar protokol kesehatan. Termasuk juga menggalakkan razia masker dan memberikannya saksi.
"Jadi di sini tuh ketegasannya gini dulu ada demo Omnibus Law, ketika itu dikhawatirkan terjadi kluster Covid 19. Coba sekarang kita lihat yang kejadian bandara yang pertama, terus yang kedua tentang nikahan," ungkapnya. Rasa kekecewaannya bertambah setelah melihat sikap dari pemerintah pusat melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang justru menyumbangkan masker. "Sementara di sisi lain kalau mau nikahan harus izin ke Pemprov DKI. Ini 10 ribu, malah didukung BNPB, yaudah kalau gitu kan setengah setengah kan," tegasnya.
"Mungkin BNPB sama DKI takut sama massa, lebih takut sama massa daripada perjuangan nakes dan relawan, jadi mereka ngizinin," kata dr Tirta. "Harusnya ya boleh ya boleh, tidak ya tidak," tutup dokter asal Solo Jawa Tengah itu. Kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Muhammad Rizieq Shihab atau Habib Rizieq ke Indonesia masih terus menjadi sorotan.
Diketahui, pulangnya Habib Rizieq Shihab ke Tanah Air menimbulkan euforia tersendiri bagi para pengikutnya. Secara otomatis justru menciptakan kerumunan massa di setiap aktivitas yang diikuti oleh Habib Rizieq. Meski tidak disalahkan, kondisi tersebut dinilai harusnya tidak terjadi di tengah pandemi Covid 19 yang harusnya justru tetap menjaga protokol kesehatan (prokes).
Bahkan, Muhammadiyah melalui Sekretaris Umum, Abdul Mu'ti juga memberikan sorotan kepada aksi massa pendukung Habib Rizieq. Dalam kesempatan itu, Abdul Mu'ti juga mempertanyakan ketegasan sikap dari pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pusat. Menurutnya, penegakan protokol kesehatan dalam upaya pencegahan penyebaran Covid 19 terkesan tebang pilih.
"Itu yang saya tidak paham. Jadi sepertinya penegakan aturan itu tebang pilih," ujar Abdul Mu'ti. "Seharusnya aturan itu berlaku untuk semuanya," harapnya. Abdul Mu'ti mengatakan kondisi tersebut semakin memperjelas bahwa hukum di Indonesia hanya tajam ke bawah, namun justru tumpul ke atas, tak terkecuali penegakkan protokol kesehatan.
"Selama ini ada kritik misalnya (hukum) tajam ke bawah tumpul ke atas. Ini kan menandakan ada pesan, peraturan Covid 19 ini juga begitu, tajam ke bawah tumpul ke atas," sindir Mu'ti. Oleh karenanya, Abdul Mu'ti meminta pemerintah bisa lebih tegas menindak semua kerumunan tanpa pandang bulu. Menurutnya, sejauh ini hanya masyarakat bawah yang terus terusan dilakukan penindakan, termasuk sampai diberikan sanksi.
Ia juga menyinggung terjadinya kerumunan dan pelanggaran protokol kesehatan dalam acara acara terkait Pilkada Serentak 2020. "Ini tidak boleh, kasihan masyarakat itu sampai harus diberi sanksi, tidak boleh berjualan dan sebagainya demi mematuhi peraturan pemerintah," ungkap Abdul Mu'ti. "Sementara ada kelompok elit tertentu (yang dibiarkan). Ini tidak hanya kasus acara Habib Rizieq ya, tapi juga misalnya kerumunan pilkada yang secara tegas diatur bahwa tidak boleh ada pengerahan massa," imbuhnya.
"Ternyata juga dilanggar begitu saja dan sanksi sanksi yang katanya akan diberlakukan oleh Bawaslu ternyata jauh panggang dari api," pungkasnya.